Senin, 02 Januari 2012

Matematika Kehidupan

Kerja keras belum tentu produktif, lihat tukang becak, sungguh ia sudah kerja keras mengayuh becaknya hingga ngos-ngosan keringetan, tetapi hasilnya ternyata tidak memadai. Kerja cerdas lebih produktif, tidak terlalu keringetan tetapi hasilnya bisa jauh lebih banyak. Tetapi banyak juga orang yang sudah kerja cerdas, sudah menghasilkan begitu banyak, segala yang dibutuhkan sudah tersedia, ternyata hidupnya tidak tenang, gelisah dan ujung-ujungnya lari ke narkoba atau mendekam di penjara.

Nah, ada jenis kerja lain, yaitu kerja ikhlas. Dapat banyak alhamdulillah, dapat sedikit alhamdulillah, belum dapat, sabar dan berusaha lagi. Seberapapun yang diperoleh dari kerja keras, cerdas dan keikhlasannya, ia bisa menerimanya dengan senang hati karena ia menyadari bahwa wilayah manusia itu hanya berikhtiar, hanya berusaha, sedangkan tentang hasil, di situ ada tangan Tuhan.

Ada orang sudah dapat banyak masih kurang dan hatinya gelisah, makan tak enak tidur tak nyenyak, dimusuhi orang banyak. Sementara yang lain dapatnya sedikit tetapi ia merasa cukup bahkan masih bisa memberi. Dengan tenang ia menikmati hasil jerih payahnya, damai, harmoni dengan lingkungan dan bahkan dihormati orang lain.

Menurut hitungan matematis,orang yang punya uang sepuluh juta rupiah kemudian diambil lima juta untuk membantu biaya sekolah anak-anak yatim maka uangnya yang tersisa hanya tinggal lima juta rupiah. Jika orang itu kemudian mempunyai pola perilaku tetap yaitu selalu memberikan separoh hasil usahanya untuk membantu orang lain yang kesulitan, maka menurut hitungan matematis ia pasti lambat kayanya dibanding jika ia tidak suka memberi. Jika ia menjadi kaya 10 tahun kemudian, maka logikanya jika tidak suka memberi, ia sudah bisa menjadi orang kaya lima tahun lebih cepat.

Tetapi realitas kehidupan sering berbicara lain. Orang yang suka memberi justru lebih cepat kaya sementara orang yang kikir usahanya sering tersendat-sendat. Sama halnya orang dagang yang selalu mengambil keuntungan dengan margin tertinggi justru kalah bersaing dengan pedagang yang mengambil keuntungan dengan margin rendah. Kenapa ?, karena hidup itu bukan hanya matematis, ada matematika bumi dan ada matematika langit. Orang yang keukeuh (bertahan; sunda) dengan hitungan matematis dalam interaksi sosial tanpa disadari ia justru kehilangan peluang non teknis yang nilainya tak terukur secara matematis, yaitu berkah.

Berkah adalah terdayagunanya nikmat secara optimal. Dari uang lima juta rupiah misalnya semua terinvestasi tanpa ada sedikitpun kebocoran, sehingga pertumbuhannya konstan. Sedangkan penghasilan yang tidak berkah dapatnya sepertinya banyak, tetapi yang terdayaguna hanya sedikit karena sebagian besar justru bocor ke wilayah-wilayah yang tak diperlukan.

Matematika langit mengajarkan bahwa harta itu anugerah Tuhan. Tuhan menyuruh manusia untuk bekerja keras dan Tuhan akan memberi menurut kehendak Nya sesuai dengan rumus-rumus matematika langit. Zakat misalnya arti bahasanya adalah suci dan tumbuh, artinya orang yang disiplin membayar zakat hartanya menjadi suci (dari sorotan orang miskin) dan hatinya pun menjadi suci (dari keserakahan matematis).

Filosofi zakat ialah bahwa di dalam harta si kaya ada hak orang lain (miskin), yang meminta atau yang malu meminta. Jika zakat tak dibayarkan, maka maknanya si kaya memakan hak orang miskin. Zakat diartikan tumbuh artinya harta yang dizakati akan berkembang volume dan maknanya secara sehat. Logiskah ini ?

Tuhan mengajarkan melalui pohon. Pohon yang secara regular digunting ranting dan daunnya ia akan tumbuh berkembang secara indah dan berpola, karena dari ranting yang digunting akan tumbuh daun baru yang segar. Jika pohon itu tak pernah dipotong maka pohon itu terus berkembang tetapi tidak indah, tidak berpola dan bahkan bisa menjadi pohon besar yang angker.

sumber dari : sini